Jangan Sampai Tidak Hidup

HIDUP-HIDUPILAH MUHAMMADIYAH, JANGAN SAMPAI TIDAK HIDUP KETIKA DI MUHAMMADIYAH

Muhammadiyah, organisasi besar yang usianya sudah lebih dari satu abad ini, memiliki ribuan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang tersebar diberbagai tempat di Indonesia. Bahkan hingga luar negeri. Kita tentunya bangga sebagai bagian darinya mempunyai banyak sekolah, rumah sakit, dan lainnya tersebut. Namun, kebanggaan yang terkadang mengusik hati masih saja menghampiri. Dimana ada saja kekurangan yang terdapat didalamnya, memang menjadi sempurna itu sulit. Tetapi menjadi lebih baik akan bisa dilakukan ketika ada kemauan dan kebijakan yang dibuat.

Kumparan pada tahun 2018 melansir, Muhammadiyah memiliki 5777 sekolah dengan rincian 2.604 sekolah dasar, 1.722 SMP/sederajat, 1.291 SMA/sederajat, 160 pesantren, dan 177 kampus atau institusi. Apalagi sekarang, hampir di setiap Kota/Kabupaten ada Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM), baik Universitas ataupun Sekolah Tinggi. Dari itu semua, kita memang bangga dengan capaian Muhammadiyah dibidang pendidikan. Tetapi, apakah mereka yang ada di AUM pendidikan itu sudah hidup dengan layak secara ekonomi? Atau malah kehidupannya sangat miris dan kurang dalam hal ekonomi?

Jangan Sampai Tidak Hidup

Kita pasti memahami, bahwa mereka yang menjadi guru ataupun tenaga kependidikan di AUM memiliki penghasilan yang jauh dari cukup. Kebanyakan pendapatannya di kisaran Rp. 150 ribu sampai Rp. 200 ribu per bulan. Ditengah meningkatnya kebutuhan hidup, apakah nominal Rupiah tersebut mencukupi? Rasanya tidak. Bayangkan ketika dia hanya menjadi guru saja, tanpa ada pendapatan lainnya. Dan mungkin itu masih banyak terjadi, apalagi di pedesaan. Kenapa mereka bertahan meski dengan hanya upah pas-pasan? Pastinya soal dedikasi dan keikhlasan, serta inginnya mencerdaskan anak bangsa.

Tetapi, lebih jauh kita harusnya berpikir, Muhammadiyah yang sebesar itu. Namun yang menghidupkan kehidupannya jauh dari kata layak. Akan adakalanya mereka merasa dilema, ketika ingin meninggalkan AUM dibilang tidak loyal. Tapi ketika bertahan, keadaan ekonominya memprihatinkan. Maka, ayat-ayat Alquran menjadi penyemangatnya dalam memperjuangkan keberlangsungan Muhammadiyah. Karena akan ada rejeki dari jalan yang tidak disangka-sangka. Jika kita bisa membayangkan, ketika Muhammadiyah mampu membangun ribuan AUM, bisa membantu Palestina miliyaran, serta membantu lainnya. Apa tidak bisa membuat sistem yang dapat membantu kehidupan para guru Muhammadiyah?

Saatnya Memperhatikan Guru Muhammadiyah

Mungkin sudah banyak guru Muhammadiyah yang juga sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), namun juga tak sedikit yang gajinya jauh dalam mencukupi kehidupannya. Kalau boleh mengatakan, daripada membeli klub sepakbola yang dimana gaji pemainnya dibayar jutaan bahkan ratusan juta. Bukankah lebih baik memberikan subsidi bagi guru mengaji atau guru sekolah Muhammadiyah yang ekonominya masih memprihatinkan? Toh mereka yang menghidupkan syiar dakwah Muhammadiyah diberbagai pelosok negeri. Apalagi Muhammadiyah memiliki Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shodaqoh Muhammadiyah (Lazismu) yang dananya dihimpun dari warga Muhammadiyah. Bukankah lebih baik dana tersebut disisihkan sebagian untuk meningkatkan kesejahteraan para pendidik di AUM? Namun yang sifatnya rutin bukan insidental saja.

Rasanya akan lebih manfaat dan para tenaga pendidik akan semakin bersemangat. Mungkin bisa juga Lazismu memberikan sumbangsih dana ketika ada organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah memiliki kegiatan. Agar mereka tak berkutat dengan proposal, atau bergantung pada bantuan. Meski mereka urunan, tapi pastinya masih tidak dapat mencukupi dalam melakukan program kegiatan mereka. Agar cerita istri yang menyuruh makan seragam Kokam Pemuda Muhammadiyah gegara suaminya seorang aktivis, namun kondisi ekonominya kurang sehingga istrinya marah tidak lagi terulang.

Bermuhammadiyah Dengan Gembira

Dari kesemuanya itu, pastilah para guru dan aktivis Muhammadiyah masih semangat dan bergembira dalam merawat Persyarikatan yang mereka cintai. Meski esok hari kadang berpikir cara bagaimana mencukupi kebutuhan hidupnya. Mereka tetap tersenyum di depan siswanya, menuntaskan tugas dengan gembira. Karena sejatinya Bermuhammadiyah adalah salah satu cara mengekspresikan kegembiraan lewat jalur yang telah dipilih. Sehingga upah Rp. 150 sampai Rp. 200 ribuan per bulan dapat memenuhi kebutuhan dapurnya, sekolah anak-anaknya, karena menjalaninya dengan rasa gembira. Namun, harusnya dan sudah seharusnya ini menjadi perhatian. Karena di Muhammadiyah di era sekarang bukan lagi bicara tentang perjuangan.

Muhammadiyah sudah besar dan berkembang, bahkan sampai ke berbagai negara. Maka kita tinggal merawat dan mengembangkannya. Akan sangat miris ketika hampir tiap tahun meresmikan AUM, namun gurunya masih jauh dari kelayakan dalam menerima pendapatannya. Mungkin hanya satu atau dua sekolah yang mampu menggaji gurunya dengan layak, kita perlu lagi memperhatikan soal ini. Karena terkadang jauh tak tersentuh, padahal Muhammadiyah adalah organisasi besar. Bukankah ketika kita membantu orang lain kudu melihat orang terdekat kita dulu? Sebagaimana menjaga keluarga dari api neraka. Dalam artian, Muhammadiyah pun harus sama. Bukankah kemiskinan itu dekat kepada kemaksiatan?

Hal ini mungkin akan membuat orang yang tak sepaham, akan menganggap hilang loyalitas terhadap Muhammadiyah. Namun bagi yang sepaham bahkan senasib, akan merasa terwakilkan keresahannya. Logika tanpa logistik, ya mungkin nggak jalan. Sama halnya dengan pembahasan di atas. Sehingga haruslah kita renungkan, agar guru-guru kita tetap mengajar dengan senyuman dan kondisi ekonomi yang berkecukupan. Akan sangat miris ketika banyaknya AUM dibidang pendidikan, namun kondisi siswanya dan gaji gurunya sedikit.

Beruntung bagi guru Muhammadiyah yang sudah sertifikasi, inpassing, apalagi PNS. Meski sisanya yang hanya dapat ratusan ribu, namun kita tidak semangat dalam Bermuhammadiyah. Maaf, bukan bermaksud pragmatis apalagi ingin mencari hidup di Muhammadiyah. Tetapi, sudah saatnya hal tersebut menjadi perhatian, agar guru-guru Muhammadiyah tidak hanya di warning saat ikut program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Tetapi nasibnya juga diperhatikan, wajar saja mereka mencari penghidupan yang lebih layak ketika di AUM harapan mereka sedikit. Maka, mari lebih memperhatikan bukan hanya memperingatkan. Semangat selalu guru-guru Muhammadiyah, kita bangga dan percaya bahwa Allah swt mempersiapkan rezeki terbaik bagi kita.

Penulis Hendra Hari Wahyudi